Tak terasa, sudah hampir 60 tahun Indonesia telah merdeka atas penjajahan asing. Suatu kemerdekaan yang mengandung konsekuensi. Kita mengenal adagium "Lebih mudah merebut daripada mempertahankan", yang bolehlah dianggap sebagai salah satu konsekuensi kemerdekaan "De Jure" ini. Sebuah adagium yang kemudian mempunyai nilai korelatif jika menilik perkembangan terkini, yang mengarah pada distorsi atas kedaulatan NKRI oleh bangsa lain yang ditopang oleh kekuatan NEKOLIM (Neo Kolonialisme & Neo Imerialisme). NEKOLIM adalah manifestasi dari kapitalisme global yang punya kecenderungan menindas secara ekonomi maupun politik.
Kecenderungan NEKOLIM niscaya menjadi keprihatinan bersama, jika kita menelaah konsekuensi dari kecenderungan tsb yang ternyata berbanding lurus dengan kesengsaraan negara-negara antitesa NEKOLIM
dimana NKRI termasuk didalamnya.
Nekolim bukanlah sebuah ideologi melainkan sebuah system yang selaras dengan ketergantungan manusia atas
kekuatan kapital, dan dengan demikian memunculkan resistensi dan antitesa-antitesa idelologis. Induk semang resistensi ideologis atas Kapitalisme dgn Nekolimnya kita kenal dengan SOSIALISME yang digagas Filsuf Materialisme jerman, Karl Marx & Engels.
MARHAENISME
Sosialisme sendiri telah melahirkan berbagai varian ideologi yang disesuaikan dengan kondisi geopolitik dan tatanan sosial masyarakat yang khas. Di Rusia ada sosialisme Marxistik (komunisme), di Prancis ada Sosialis Demokrat, di China ada Sosialisme Maois (walau belakangan China menjalankan Liberalisasi Ekonomi yang di Prakarsai Deng Xiao Ping), dan di Indonesia kita mengenal Marhaenisme.
Marhaenisme yang diajarkan Soekarno (Bung Karno: Bapak Marhaen) dianggap unik karena merupakan ideologi yang digali dari kultur masyarakat Indonesia yang telah kenyang di jajah, dengan menggunakan Marxisme sebagai pisau bedah analisisnya. Marhaenisme secara umum didefinisikan sebagai "cara perjuangan untuk mewujudkan tatanan masyarakat SOSIALIS RELIGIUS berdasarkan Pancasila". Sedangkan kaum Marhaen (yang harus diperjuangkan) adalah kaum papa yang dimiskinkan oleh cara produksi yang menindas dan termasuk didalamnya adalah kaum buruh/proletar.
Ajaran Marhaenisme sendiri dirangkum dari beberapa konsepsi/teori yang saling bersinergi yang dikenal sebagai pilar2 Marhaenisme, dan salah satu yang terkenal adalah konsep TRISAKTI.
Trisakti, latar historis dan definisi
Konsep Trisakti merupakan konsep ke 4 dari 5 konsep Bung Karno, yang beliau nyatakan sebagai azimat ke 4. Penggunaan kata azimat semata2 untuk menekankan pentingnya ajaran, bukan meng-azimat-kan ajaran tsb. Kelima konsep tersebut a.l; 1. Nasakom, 2. Pancasila, 3. Manipol USDEK, 4. Trisakti/TAVIP dan 5. Berdikari.
Sebagaimana telah disinggung pada prolog tulisan, kesadaran akan konsekuensi logis dari sebuah kemerdekaan de jure telah melahirkan konsep Trisakti ini. Trisakti merupakan rumusan yang digali Bung Karno selama menghadapi usaha-usaha imperialis yang ingin menghancurkan Indonesia. Trisakti kemudian dijabarkan dalam pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1964 yang berjudul "Tahun ViverePericoloso" disingkat TAVIP. Pidato ini disampaikan Bung Karno ketika Indonesia telah berhasil mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, dan juga tengah menghadapi usaha imperialis (terutama Inggris) membangun apa yang dikenal sebagai proyek Federasi Malaysia.
Trisakti dijabarkan sebagai "Berdaulat dalam bidang politik", "Berdikari dalam bidang Ekonomi", dan "Berkepribadian dalam kebudayaan".
Pergeseran paradigma dan reaktualisasi Trisakti
Ketika kekuasaan Orde Lama ambruk, ajaran2 berhaluan SOSIALIS kemudian dilarang. Marhaenisme sendiri, meski oleh ORBA tak sampai di TAP MPRS-kan pelarangannya tetap saja mengalami nasib serupa. Organisasi-organisasi berhaluan Marhaenisme dihambat perkembangannya dengan mekanisme kontrol yang super ketat dan intervensi-intervensi. Mandeg-nya ideologi resisten yang disengaja ini dan kentalnya hegemoni penguasa, secara psikologis telah melahirkan pergeseran paradigma berpikir dan bersikap yang cenderung kapitalistik. Dan Teori kausalitas tak terkecuali menghinggapi konfigurasi psikologis semacam ini, yang berakibat lahirnya -lagi2- konsekuensi baru yang lebih buruk: Apatisme.
Apatisme telah menciptakan akumulasi kapital asing di NKRI lengkap dengan berbagai tuntutannya. Privatisasi,
yang membuat industri2 strategis negara atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, oleh apatisme telah dibiarkan untuk dikuasai kemodalan asing dan kita telah pahami bersama konsekuensinya. Embargo peralatan militer yang membuat Serdadu kita tak berwibawa, provokasi di Ambalat dan kenaikan BBM. Jika kita menganggap bahwa, misalnya, privatisasi adalah sudah seharusnya dikarenakan KKN telah merajalela atas industri2 hajat hidup orang banyak itu, maka bukankah apatisme juga turut andil menciptakan KKN itu?
Secara politis, apatisme lebih membuka ruang bagi pragmatisme politik jangka pendek yang berkolaborasi dengan kepentingan kapitalis daripada kepentingan ideologis jangka panjang.
Dengan demikian, di era keterbukaan ini konsep Trisakti kemudian seolah menemukan momentumnya. Ditingkat grass-root, kesadaran mulai terbangun bahwa berdaulat, berdikari, dan berkepribadian adalah sungguh perlu. Antusiasme terhadap Ambalat adalah contohnya.
Re-aktualisasi Trisakti perlu terus dilakukan guna meng-eliminir sikap apatisme, dan menunjukkan bahwa Trisakti masih punya korelasi selama Indonesia masih Bangsa Kuli, dengan rakyat yang menjadi kuli di tanahnya sendiri. Persoalannya sekarang, siapa yang harus ber-kampanye dan ber-diskursus?
Harapan
Saya, anda dan siapapun yang memiliki panggilan nurani untuk melaksanakan cita-cita Bangsa yang Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila, yang memahami bahwa cita-cita Bangsa ini tidak berhenti sebagai cita-cita belaka. Yang menghindarkan diri dari virus apatisme dan meyakini bahwa masyarakat adil dan makmur sama rasa-sama rata bukan tujuan retoris. Kitalah yang seharusnya mempelopori diskursus dan kampanye ini.
Secara kelembagaan PDI-P merupakan organisasi yang niscaya mengambil peran lebih besar karena ciri khas organisasi-nya yang lebih dekat ke ajaran-ajaran Bung Karno, dan masih mendapat kepercayaan mewadahi konstituen nasionalis yang jumlahnya masih signifikan. Kongres PDI-P ke II di Bali pada 28 Maret hingga 2 April nanti diharapkan dapat menjadi titik tolak re-aktualisasi ajaran2 Marhaenisme termasuk Trisakti, dan diharapkan juga untuk dapat merumuskan formulasi parksis ajaran2 tsb. Kami sangat berapresiasi terhadap dukungan politik PDI-P yang diberikan kepada pemerintahan sebelumnya (Megawati) yang ditengah keterbatasannya, dalam beberapa hal telah mengambil langkah-langkah yang bermartabat dan telah menunjukkan bahwa Indonesia tidak seharusnya tergantung kepada kaum imperialis.
Keberpihakan terhadap rakyat adalah harus, dan PDI-P harus segera mengkonsolidasi diri untuk kembali ke
karakter ini. Semoga.
Samenbundelling van alle revolutionaire krachten.
Merdekaa! Marhaen menang,..!!
Roy Pangalila
18 Maret 2005
Sumber: dari berbagai sumber plus arsip GMNI.
Kecenderungan NEKOLIM niscaya menjadi keprihatinan bersama, jika kita menelaah konsekuensi dari kecenderungan tsb yang ternyata berbanding lurus dengan kesengsaraan negara-negara antitesa NEKOLIM
dimana NKRI termasuk didalamnya.
Nekolim bukanlah sebuah ideologi melainkan sebuah system yang selaras dengan ketergantungan manusia atas
kekuatan kapital, dan dengan demikian memunculkan resistensi dan antitesa-antitesa idelologis. Induk semang resistensi ideologis atas Kapitalisme dgn Nekolimnya kita kenal dengan SOSIALISME yang digagas Filsuf Materialisme jerman, Karl Marx & Engels.
MARHAENISME
Sosialisme sendiri telah melahirkan berbagai varian ideologi yang disesuaikan dengan kondisi geopolitik dan tatanan sosial masyarakat yang khas. Di Rusia ada sosialisme Marxistik (komunisme), di Prancis ada Sosialis Demokrat, di China ada Sosialisme Maois (walau belakangan China menjalankan Liberalisasi Ekonomi yang di Prakarsai Deng Xiao Ping), dan di Indonesia kita mengenal Marhaenisme.
Marhaenisme yang diajarkan Soekarno (Bung Karno: Bapak Marhaen) dianggap unik karena merupakan ideologi yang digali dari kultur masyarakat Indonesia yang telah kenyang di jajah, dengan menggunakan Marxisme sebagai pisau bedah analisisnya. Marhaenisme secara umum didefinisikan sebagai "cara perjuangan untuk mewujudkan tatanan masyarakat SOSIALIS RELIGIUS berdasarkan Pancasila". Sedangkan kaum Marhaen (yang harus diperjuangkan) adalah kaum papa yang dimiskinkan oleh cara produksi yang menindas dan termasuk didalamnya adalah kaum buruh/proletar.
Ajaran Marhaenisme sendiri dirangkum dari beberapa konsepsi/teori yang saling bersinergi yang dikenal sebagai pilar2 Marhaenisme, dan salah satu yang terkenal adalah konsep TRISAKTI.
Trisakti, latar historis dan definisi
Konsep Trisakti merupakan konsep ke 4 dari 5 konsep Bung Karno, yang beliau nyatakan sebagai azimat ke 4. Penggunaan kata azimat semata2 untuk menekankan pentingnya ajaran, bukan meng-azimat-kan ajaran tsb. Kelima konsep tersebut a.l; 1. Nasakom, 2. Pancasila, 3. Manipol USDEK, 4. Trisakti/TAVIP dan 5. Berdikari.
Sebagaimana telah disinggung pada prolog tulisan, kesadaran akan konsekuensi logis dari sebuah kemerdekaan de jure telah melahirkan konsep Trisakti ini. Trisakti merupakan rumusan yang digali Bung Karno selama menghadapi usaha-usaha imperialis yang ingin menghancurkan Indonesia. Trisakti kemudian dijabarkan dalam pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1964 yang berjudul "Tahun ViverePericoloso" disingkat TAVIP. Pidato ini disampaikan Bung Karno ketika Indonesia telah berhasil mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, dan juga tengah menghadapi usaha imperialis (terutama Inggris) membangun apa yang dikenal sebagai proyek Federasi Malaysia.
Trisakti dijabarkan sebagai "Berdaulat dalam bidang politik", "Berdikari dalam bidang Ekonomi", dan "Berkepribadian dalam kebudayaan".
Pergeseran paradigma dan reaktualisasi Trisakti
Ketika kekuasaan Orde Lama ambruk, ajaran2 berhaluan SOSIALIS kemudian dilarang. Marhaenisme sendiri, meski oleh ORBA tak sampai di TAP MPRS-kan pelarangannya tetap saja mengalami nasib serupa. Organisasi-organisasi berhaluan Marhaenisme dihambat perkembangannya dengan mekanisme kontrol yang super ketat dan intervensi-intervensi. Mandeg-nya ideologi resisten yang disengaja ini dan kentalnya hegemoni penguasa, secara psikologis telah melahirkan pergeseran paradigma berpikir dan bersikap yang cenderung kapitalistik. Dan Teori kausalitas tak terkecuali menghinggapi konfigurasi psikologis semacam ini, yang berakibat lahirnya -lagi2- konsekuensi baru yang lebih buruk: Apatisme.
Apatisme telah menciptakan akumulasi kapital asing di NKRI lengkap dengan berbagai tuntutannya. Privatisasi,
yang membuat industri2 strategis negara atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, oleh apatisme telah dibiarkan untuk dikuasai kemodalan asing dan kita telah pahami bersama konsekuensinya. Embargo peralatan militer yang membuat Serdadu kita tak berwibawa, provokasi di Ambalat dan kenaikan BBM. Jika kita menganggap bahwa, misalnya, privatisasi adalah sudah seharusnya dikarenakan KKN telah merajalela atas industri2 hajat hidup orang banyak itu, maka bukankah apatisme juga turut andil menciptakan KKN itu?
Secara politis, apatisme lebih membuka ruang bagi pragmatisme politik jangka pendek yang berkolaborasi dengan kepentingan kapitalis daripada kepentingan ideologis jangka panjang.
Dengan demikian, di era keterbukaan ini konsep Trisakti kemudian seolah menemukan momentumnya. Ditingkat grass-root, kesadaran mulai terbangun bahwa berdaulat, berdikari, dan berkepribadian adalah sungguh perlu. Antusiasme terhadap Ambalat adalah contohnya.
Re-aktualisasi Trisakti perlu terus dilakukan guna meng-eliminir sikap apatisme, dan menunjukkan bahwa Trisakti masih punya korelasi selama Indonesia masih Bangsa Kuli, dengan rakyat yang menjadi kuli di tanahnya sendiri. Persoalannya sekarang, siapa yang harus ber-kampanye dan ber-diskursus?
Harapan
Saya, anda dan siapapun yang memiliki panggilan nurani untuk melaksanakan cita-cita Bangsa yang Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila, yang memahami bahwa cita-cita Bangsa ini tidak berhenti sebagai cita-cita belaka. Yang menghindarkan diri dari virus apatisme dan meyakini bahwa masyarakat adil dan makmur sama rasa-sama rata bukan tujuan retoris. Kitalah yang seharusnya mempelopori diskursus dan kampanye ini.
Secara kelembagaan PDI-P merupakan organisasi yang niscaya mengambil peran lebih besar karena ciri khas organisasi-nya yang lebih dekat ke ajaran-ajaran Bung Karno, dan masih mendapat kepercayaan mewadahi konstituen nasionalis yang jumlahnya masih signifikan. Kongres PDI-P ke II di Bali pada 28 Maret hingga 2 April nanti diharapkan dapat menjadi titik tolak re-aktualisasi ajaran2 Marhaenisme termasuk Trisakti, dan diharapkan juga untuk dapat merumuskan formulasi parksis ajaran2 tsb. Kami sangat berapresiasi terhadap dukungan politik PDI-P yang diberikan kepada pemerintahan sebelumnya (Megawati) yang ditengah keterbatasannya, dalam beberapa hal telah mengambil langkah-langkah yang bermartabat dan telah menunjukkan bahwa Indonesia tidak seharusnya tergantung kepada kaum imperialis.
Keberpihakan terhadap rakyat adalah harus, dan PDI-P harus segera mengkonsolidasi diri untuk kembali ke
karakter ini. Semoga.
Samenbundelling van alle revolutionaire krachten.
Merdekaa! Marhaen menang,..!!
Roy Pangalila
18 Maret 2005
Sumber: dari berbagai sumber plus arsip GMNI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar