...... Siapakah gerangan saya? ......

Hanya pria biasa, dengan perikehidupan yang juga sangat biasa. Senang ber-khayal, terutama menyangkut hal-hal yang sangat ideal bahkan -bagi sebagian orang- utopis.

Gimana ngga utopis...

Khayalan kerap melayang jauh pada ide - ide seputar Dunia tanpa peperangan, Dunia tanpa akumulasi kapital, Dunia tanpa "kekuasaan" yang menindas, atau, Dunia yang dihuni masyarakat filosof yang dipimpin oleh seorang filosof sejati, ... turut serta disana harapan yang juga sangat utopis;

"Dunia dipangku oleh kebijaksanaan dan kebajikan."

Sabtu, Februari 07, 2009

Bento


Bento dilaknat dan dicampakkan ketika ia baru berumur 24. Hari itu, 27 Juli 1656, majelis para rabbi di Sinagoga Amsterdam memaklumkan bahwa anak muda itu, yang pernah jadi murid yang pandai dalam pendidikan agama, dibuang dari kalangan Yahudi, dari “bangsa Israel”, karena pendapat dan perbuatannya yang dianggap keji.

Pengumuman hukuman itu dibacakan dengan angker. Dari mimbar kata demi kata dilafalkan, seraya terompet besar yang meratap menyela sesekali. Sinagoga yang terang itu pelan-pelan suram. Lampu satu demi satu dimatikan, sampai akhirnya semuanya padam dan ruang jadi gelap: lambang kematian cahaya rohani dalam diri orang yang dikutuk.

“Terkutuklah ia di hari siang dan terkutuklah ia di hari malam. Terkutuklah ia ketika ia berbaring dan terkutuklah ia ketika ia bangun. Terkutuklah ia bila ia ke luar dan terkutuklah ia bila masuk.” Dan kalimat terakhir keputusan para sesepuh Dewan Eklesiastik itu berbunyi: “…Tuhan akan mencoret namanya dari kehidupan di bawah Langit.”

Kalimat itu garang, tentu, tapi keliru. Berkali-kali sejarah mencatat, dengan keputusan seperti itu para pembesar agama menunjukkan keangkaramurkaannya dan juga kekonyolannya. Sejak itu Bento memang mulai harus hidup terasing dari sanak saudaranya sendiri. Tapi ia tak mau takluk. Ia meninggalkan usaha ayahnya yang pernah ia teruskan dan berhasil. Menumpang sewa dari rumah ke rumah di daerah murah, nafkahnya datang dari menatah lensa buat teleskop dan mikroskop. Ia mati sebelum umur 45 dan hanya meninggalkan dua pasang celana dan tujuh lembar kemeja. Tapi ia, Bento, nama panggilan Portugis bagi Baruch de Espinoza, atau Spinoza pemikir yang menulis Tractacus Theologico-Politicus, tak pernah tercoret dari muka bumi. Kutukan itu gagal.

Aneh, (tapi mungkin tidak) para ulama Yahudi Amsterdam itu mengambil keputusan sekeras itu. Mereka sendiri berasal dari para pengungsi Spanyol dan Portugal, tempat Gereja Katolik dengan lembaga Inkuisisinya membakar orang yang dianggap murtad hidup-hidup, tempat raja dan gereja memaksa orang Yahudi dan muslim memeluk iman Kristen. Pada suatu hari di tahun 1506, di Lisabon, 20.000 anak dipaksa dibaptis, sementara 2.000 orang Yahudi dibantai.

Tapi toh para tetua Yahudi di Amsterdam itu, yang punya kakek-nenek yang lari dari aniaya di Semenanjung Iberia, menunjukkan sikap tak toleran yang sama terhadap Spinoza, meskipun tak sekejam membakar orang di api unggun.

Mungkin ada dalam agama-agama Ibrahimi yang membuat iman seperti gembok: kita hidup dalam bilik yang tertutup dan terpisah. Di situ Tuhan pencemburu yang tak tenteram hati.

Tentu saja bagi pandangan macam itu suara Spinoza yang diejek sebagai espinas (“duri-duri”)bisa sangat mengganggu. Ia dianggap atheis.

Spinoza akan membantah itu. Ia percaya Tuhan ada dan tak hanya itu. Novalis bahkan menganggap Spinoza “orang yang gandrung -akan- Tuhan”. Tapi Tuhan baginya tak mengadili dan mempidana orang per orang. “Tuhan tak memberikan hukum kepada manusia untuk menghadiahi mereka bila patuh dan menghukum mereka bila melanggar,” tulis Spinoza. Tuhan bukan person. Sebagaimana Ia tak bisa diwujudkan dalam arca, Ia tak bisa dibayangkan secara antroposentris. Siapa yang memandang Tuhan dengan memakai sifat dan fiil manusia sebagai model akhirnya membuat iman jadi absurd: bagaimana Tuhan cemburu dan menuntut dipatuhi bila Ia mahakuasa?

Bagi Spinoza, Tuhan itu “substansi”. Substansi itu mengambil “modus”, dan Tuhan mengambil modus sebagai Natura naturans, Alam kreatif yang membuahkan “alam yang di-alam-kan”, Natura naturata. Ada kesatuan ontologis antara Tuhan dan ciptaannya.

Tapi dengan demikian Tuhan bagi Spinoza bukanlah Tuhan yang akan mencintai, atau membenci, atau membuat mukjizat. Pada saat yang sama, Tuhan ada di mana-mana, dalam segala yang ada.

Suara Spinoza tak akan diberangus seandainya ia hidup di zaman lain. Tapi seperti dikisahkan dengan mengasyikkan oleh Matthew Stewart dalam The Courtier and the Heretic, tentang pertemuan dan konflik pemikiran Leibnitz dan Spinoza, Tuhan adalah “nama persoalan abad ke-17”.

Waktu itu Gereja telah dijatuhkan monopolinya oleh banyak aliran protestanisme; ilmu pengetahuan mulai mengguncang Kitab Suci; ekonomi dan politik mulai bebas dari intervensi lembaga agama.

Ada kebebasan berpikir, tapi juga rasa cemas menghadapi kebebasan. Spinoza sejenak merasakan kemerdekaan justru ketika ia dikeluarkan dari jemaat Yahudi dan bersyukur ia hidup di negeri yang tak akan membinasakan orang “murtad”. Namun pada akhirnya ia tahu: tak akan ada rasa aman begitu ia jadi duri bagi iman orang ramai.

Pada suatu hari seorang fanatik mencoba menusuknya dengan belati. Ia selamat. Tapi ia tahu ia harus berhati-hati. Ia, yang tinggal menumpang di Rhinsburg, dekat Leiden, dan di Den Haag, praktis menghabiskan waktunya menulis di kamarnya sambil tak henti-hentinya merokok dan menyelesaikan beberapa buku. Tapi selama 10 tahun Spinoza tak berusaha menerbitkannya. Seorang penerbit yang mencetak pendapat yang dianggap berbahaya bagi iman telah dipenjarakan 10 tahun. Di tahun 1675, ketika Spinoza ke Amsterdam untuk mencetak satu karyanya, ia dengar desas-desus tersebar di kalangan para pakar theologi Kristen bahwa buku itu berusaha membuktikan Tuhan tak ada. Spinoza pun membatalkan niatnya.

Baru setelah ia meninggal karyanya yang penting, Ethica, terbit di tahun 1677. Sementara itu Tractacus-Theologic o-Politicus yang terbit di tahun 1670, ketika ia masih hidup, muncul dengan tanpa nama dan segera masuk buku terlarang.

Tak mengherankan, bila sejalan dengan pikirannya tentang Tuhan yang terpaut erat dengan manusia dan semesta, artinya Tuhan tak bisa digambarkan sebagai raja yang bertakhta. Spinoza menganggap kekuasaan politik para ulama dan pendeta harus ditiadakan. Iman yang tulus hanya tumbuh dalam kebebasan dan justru pada kisah Bento yang diusir, kita tahu Spinoza benar.

Goenawan Mohamad
(Majalah Tempo, 14 Januari 2008)

Tidak ada komentar:

Favorite Song: