...... Siapakah gerangan saya? ......

Hanya pria biasa, dengan perikehidupan yang juga sangat biasa. Senang ber-khayal, terutama menyangkut hal-hal yang sangat ideal bahkan -bagi sebagian orang- utopis.

Gimana ngga utopis...

Khayalan kerap melayang jauh pada ide - ide seputar Dunia tanpa peperangan, Dunia tanpa akumulasi kapital, Dunia tanpa "kekuasaan" yang menindas, atau, Dunia yang dihuni masyarakat filosof yang dipimpin oleh seorang filosof sejati, ... turut serta disana harapan yang juga sangat utopis;

"Dunia dipangku oleh kebijaksanaan dan kebajikan."

Senin, Januari 26, 2009

NasAKom, sebuah komitmen Persatuan


“Mempeladjari, mentjari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan bahwa tiga haluan ini dalam suatu negri djadjahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerdja bersama-sama mendjadi satu gelombang jang maha besar dan maha kuat, satu ombak taufan jang tak dapat ditahan terdjangnya, itulah kewadjiban jang kita semua harus memikulnja.”


Kutipan diatas adalah tulisan Bung Karno, sang Bapak Marhaen pada Koran Suluh Indonesia Muda tahun 1926 ketika beliau berusia 25 tahun. Dan yang beliau maksudkan dengan tiga sifat, tiga haluan dalam kutipan diatas, tak lain dan tak bukan adalah: Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, yang di kemudian hari lebih populer dengan sebutan Nasakom. Sebagai sebuah konsep pemikiran, Nasakom lahir ditengah kesadaran yang massif akan pentingnya persatuan tiga haluan ini dalam satu kepentingan srategis menghalau kolonialisme dan imperialisme. Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme merupakan paham-paham yang kala itu menjadi roh pergerakan-pergerakan di Asia. Dan ketiga paham yang tampak sulit bersatu ini, dalam komitment kebangsaan dan kemerdekaan serta perdamaian ternyata mampu bersatu-padu.

Adapun kolonialisme dan imperialisme secara sederhana namun tepat sasaran telah di identifikasi sebagai latar depan dari kekurangan rezeki. Mengutip Dietrich Schafer, Bung Karno menyatakan: “Jang pertama-tama menjebabkan kolonisasi jalah hampir selamanja kekurangan bekal-hidup dalam tanah airnja sendiri.” Karena kurang bekal maka menjajah. Dan setelah menjajah, kolonialisme akan berusaha mempertahankan wilayah koloni/jajahannya, yang di analogikan Bung Karno sebagai, “Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul nasinja, djika pelepasan bakul itu mendatangkan matinja.”

Dalam konteks kekinian, pertanyaan kritis muncul. Masih relevankah konsepsi Nasakom ini dalam kerangka persatuan NKRI? Mungkin pertanyaan harus diawali dari, apakah bangsa kita sudah sungguh-sungguh merdeka, lepas dari penjajahan? Sebuah pertanyaan yang akan di interpretasi sangat beragam. Namun secara “bakul nasi” (ekonomi, red), kita memang masih bangsa yang terjajah. Siapa yang menjajah? Kekuatan yang dikenal sebagai NEOKOLIM (Neo Kolonialisme & Imperialisme) di bawah kendali Kapitalisme Global, yang menjajah tidak dalam bentuk fisik konvensional melainkan dalam bentuk hegemoni ekonomi. Suatu bentuk penjajahan gaya baru yang bersifat transnasional.yang jauh lebih berbahaya, diantaranya karena berhasil menjadikan kita kuli di negeri sendiri!

Pada tahap ini, persatuan kekuatan Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme seolah menemukan momentumnya. Konsep Nasakom-pun menjadi urgen untuk di elaborasi sejauh mungkin dalam kajian-kajian antar faham dan di diskusi-diskusi pergerakan dengan maksud agar persatuan itu hendaknya menjadi persatuan yang ber-kesadaran, suatu kesadaran yang bulat utuh bahwa kita harus dapat Berdikari, Berdaulat dan Berkepribadian, untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya.
Dan kader Nasionalis niscaya mengambil peran utama; menjadi avant garde pemikiran dan tindakan bagi terjaga utuhnya persatuan Nasional di NKRI yang kita cintai ini.

Merdekaa!!

Samenbundelling van alle revolutionaire krachten ini natie

Royke Robbin Pangalila
[Dimuat di Buletin "Panji Oposisi" DPC PDI Perjuangan Jak-Tim, 2008]

Tidak ada komentar:

Favorite Song: