...... Siapakah gerangan saya? ......

Hanya pria biasa, dengan perikehidupan yang juga sangat biasa. Senang ber-khayal, terutama menyangkut hal-hal yang sangat ideal bahkan -bagi sebagian orang- utopis.

Gimana ngga utopis...

Khayalan kerap melayang jauh pada ide - ide seputar Dunia tanpa peperangan, Dunia tanpa akumulasi kapital, Dunia tanpa "kekuasaan" yang menindas, atau, Dunia yang dihuni masyarakat filosof yang dipimpin oleh seorang filosof sejati, ... turut serta disana harapan yang juga sangat utopis;

"Dunia dipangku oleh kebijaksanaan dan kebajikan."

Jumat, Januari 09, 2009

[KCM] Bangsa Antipluralisme Membunuh Diri Sendiri

Minggu 11-05-2008

BANDUNG, KOMPAS - Pakar Filsafat sekaligus guru besar pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Prof Dr Franz Magnis Suseno mengingatkan bahwa pluralisme merupakan syarat mutlak agar bangsa Indonesia yang begitu plural dapat bersatu. Namun dia menilai bahwa hingga satu abad pascakebangkitan nasional, Indonesia masih belum menghargai keberagaman dan kebhinekaan latar belakang setiap individunya.

"Bangsa yang tidak menghargai pluralisme adalah bangsa yang membunuh dirinya sendiri," kata Franz Magnis Suseno di sela-sela acara Seminar Nasional Satu Abad Kebangkitan Nasional yang berlangsung di Kampus Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (10

Franz Magnis yang juga rohaniwan itu mengingatkan bahwa pluralisme bukanlah pandangan yang mengartikan bahwa semua agama sama, juga tidak berkaitan dengan pengertian ihwal manakah agama yang benar dan baik. Pluralisme, tegasnya, lebih merupakan pandangan yang berkaitan dengan kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, berbudaya, berkeyakinan agama yang berbeda.

Dalam penerimaan itu, katanya, orang bersedia untuk hidup, bergaul, dan bekerjasama membangun negara. "Pluralisme merupakan syarat mutlak agar bangsa Indonesia yang begitu plural dapat bersatu," ujarnya.

Bagi Franz, pluralisme tidak sekedar membiarkan pluralitas, melainkan memandangnya sebagai sesuatu yang positif, sebab orang yang pluralis memandang dan menghargai sesama dalam identitasnya, termasuk perbedaannya. "Seorang humanis dengan sendirinya adalah seorang pluralis," tambanya.

Namun pada saat Indonesia merayakan 100 tahun kebangkitannya, Franz menilai, hingga satu abad pascakebangkitan nasional, Indonesia masih belum menghargai keberagaman dan kebhinekaan latar belakang setiap individunya. "Bangsa yang tidak menghargai pluralisme adalah bangsa yang membunuh dirinya sendiri," kata Franz.

Dia juga menyayangkan terjadinya intimidasi yang didasarkan pada perbedaan kepercayaan dan agama. "Sudah 80 tahun Ahmadiyah hidup dengan tenteram di antara kita, tetapi mereka sekarang dikejar-kejar bahkan tempat ibadah mereka dibakar. Apakah mereka bukan warga negara yang memiliki hak berkeyakinan religius sama dengan yang lain?" kata Franz. "

Padahal, ujarnyam, berdasarkan sejarah, rasa nasionalisme dan kebangsaan di Indonesia dari Sabang hingga Merauke tumbuh berdasarkan pengalaman penjajahan yang dirasakan bersama. "Jadi nasionalisme Indonesia sebenarnya bersifat etis. Dasarnya bukan kesatuan bahasa atau budaya, tetapi tekad untuk hidup merdeka, wajar sebagai manusia," jelas Franz.

Sementrara itu guru besar Filsafat pada Universitas Parahyangan, Bambang Sugiharto, mencoba melihat munculnya tendensi pengerasan identitas pada berbagai kelompok masyarakat di Indonesia. Tendensi ini tercermin dari pemelukan erat-erat identitas, seperti kelompok, agama, politik, ekonomi, atau budaya yang tertutup dengan cara menyingkirkan atau membunuh segala hal yang berbeda.

Keberadaan agama, tradisi sebagai otoritas sistem eksternal baku tidak lagi dihormati manusia, tetapi justru dijadikan bahan untuk diperdebatkan satu sama lain. "Oleh karena itu, kuncinya berada pada kesadaran diri masing-masing kembali menghormati dan toleransi terhadap sesama," ujar Bambang.

Namun, Bambang juga melihat munculnya peluang-peluang baru yang menjanjikan bagi masa depan Indonesia. Harapan itu terlihat pada adanya peningkatan kesadaran kritis mandiri, seperti fenomena munculnya wajah muda dalam pilkada, pro-kontra RUU APP, atau kasus Munir.

Bambang juga melihat adanya peningkatan keterbukaan terhadap kritik, bangkitnya gerakan mikro, serta berkembangnya tendensi-tendensi rekonsiliasi. Masa depan, katanya, memang bukan milik masyarakat kini, dan demi pewarisan yang baik, perlu dikembangkan tendensi-tendensi yang dan intelegensia yang konstruktif. "Musuh terbesar adalah diri kita sendiri, karena kita memiliki dua kutub yang bertentangan di dalam diri kita," papar Bambang.

Bagi Bambang, bentuk-bentuk eksklusivisme sempit, keserakahan, kebodohan, dan ketertutupan hanyalah cara-cara terbaik untuk bunuh diri. Bahkan, cara terbaik untuk membunuh generasi masa depan.

Sementara itu, gubernur Jawa Barat terpilih Dede Yusuf mengemukakan, pluralisme di dalam bangsa Indonesia sering kali dijadikan sumber konflik. Padahal pluralisme yang berakar pada keberagaman etnis, budaya dan agama ini seharusnya dijadikan modal dasar pembangunan bangsa.

Oleh karena itu, tegas mantan aktor itu, bangsa Indonesia harus mengembalikan ideologi Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara . "Ideologi Pancasila ini dapat menjadi landasan bagi terciptanya konsep kota multikultur di mana pemerintah benar-benar menjamin kebebasan beragama setiap warganya dengan menyediakan tempat beribadah secara adil," kata Dede Yusuf.

Tidak ada komentar:

Favorite Song: